Di akhir penghujung 2013 ada tiga film yang menghiasi layar bioskop, yaitu Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, Soekarno, dan 47 Ronin. Ketiga film ini menjadi menu penutup di tahun 2013, sehingga pantaslah kiranya ada beberapa pesan dan semangat yang patut dijadikan sumber inspirasi dalam menjalani resolusi 2014.
Benang merah dari ketiga film itu terletak pada setting cerita yang menggambarkan situasi sejarah di jaman dahulu kala. Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, yang merupakan novel karya Buya Hamka mengisahkan perjalanan hidup sosok pemuda bernama Zainuddin yang terbuang dari keluarga, masyarakat, dan bahkan cinta. Melihat film ini – walaupun belum pernah membaca novelnya – benakku langsung tertuju pada sosok Buya Hamka, sebagai seorang penulis novel yang sangat brilian pada masanya dan juga namanya terasa begitu menggetarkan di jagad nusantara ini.
Tak hanya sebagai seorang ulama besar yang pernah dimiliki oleh bangsa ini, tetapi ia juga seorang penulis yang sangat cerdas yang mana setiap gores penanya memiliki kedalaman pengetahuan yang lintas waktu hingga detik ini. Seolah…kisah Zainuddin yang mengalir dalam novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck adalah pergolakan jiwa terdalam sosok Hamka yang berangkat dari petualangan penuh emosi dari tanah Minang (Sumatera Barat) ke pelosok negeri nusantara guna mencari jati diri, menjalani tapak mimpi besarnya, dan merengkuh cinta yang hampir (tak) tergapai.
Sosok Buya Hamka – melalui kisah Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck – pun memiliki segmen waktu yang hampir bersamaan dengan kisah dalam film Soekarno. Jika di tahun 1930-1940, Buya Hamka banyak berjuang melalui tulisan-tulisan revolusionernya, hingga membuat karya Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck di buletin “Pedoman Masyarakat” di tahun 1938, maka Soekarno banyak menghabiskan waktunya dalam pergerakan politik melawan penjajahan Belanda, yang kemudian ia dibuang di Bengkulu di tahun 1938-1942. Di Bengkulu itulah, ia bersentuhan dengan Muhammadiyah dan banyak menghabiskan waktunya mengajar di sekolah Muhammadiyah. Dan di sana pula, pergolakan cinta Soekarno bersemi dengan sosok perempuan bernama Fatmawati.
Menapaki perjalanan hidup Soekarno,menjadi momen yang penting dalam membaca ulang peta kesejarahan Indonesia, sebelum bangsa ini merdeka. Perjuangan ‘berani mati’, dibuang, dipenjara dan bahkan perang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia – adalah satu-satunya jalan hidup bagi mereka yang sanggup bermimpi untuk perubahan.
Pejuang-pejuang diplomasi seperti Soekarno, Hatta, Syahrir – terus menggelorakan perlawanan politik pada kolonialisme Belanda, pejuang-pejuang gerilya melancarkan pemberontakan guna menghancurkan pasukan Belanda, sedangkan pejuang-pejuang pena menggunakan media jurnalistik, novel, dan puisi untuk menyebarkan semangat dan pengetahuan dalam membangun karakter manusia yang unggul dan mulia. Kolaborasi dari berbagai metode dan teknik perlawanan yang dilakukan oleh para pedahulu kita membuahkan kemerdekaan dari cengkeraman penjajah, sebagai anugerah terbesar yang diberikan Tuhan pada anak-cucu bangsa ini.
47 Ronin. Film ini masih memiliki benang merah dari dua film di atas, dimana filosofi orang buangan menjadi titik balik dari perputaran sejarah kehidupan. Jika Zainuddin (Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck) adalah pemuda buangan, terusir dari keluarga, masyarakat, dan cinta; Soekarno dibuang dan diasingkan untuk membungkam pergerakan melawan kolonialisme, maka di film 47 Ronin, sosok bernama Kai adalah pemuda campuran yang terbuang lalu diselamatkan oleh sekelompok Ronin (samurai tanpa tuan) guna menjalankan misi mulia, menegakkan keadilan dan melawan tirani kejam bernama Kira.
Di film ini, sosok Kai hidup dengan sangat kelam, sebagai sosok yang tak pernah dianggap sebagai samurai. Tapi keteguhan hati, ketekunan, dan kerendah-hatian yang ia miliki, akhirnya membawanya menjadi sosok penting dalam kelompok 47 ronin guna menghancurkan tirani Kira. Falsafah Samurai berhasil mengisi pesan akhir dari film ini. Kesetiaan, keteguhan hati, dan tanggung jawab adalah etika samurai, yang menjadi dasar integritas di zaman modern ini.
Ketiga film di atas, memberikan percikan api dalam resolusi di tahun ini, 2014. Ketiganya mengajarkan, bahwa dalam kehidupan ini selalu ada titik balik terendah dalam ‘medan peperangan’ yang harus kita hadapi.
Mungkin, menjadi pejuang yang terus hidup dalam tapak idealisme, dengan cara yang kita mampu – walaupun berada dalam posisi terbuang, terusir, atau sebagai ronin (samurai tanpa tuan).