Mataku hanya sanggup menerawang jauh, menembus ruang berjarak ratusan kilometer pada sebuah dusun kecil di Kabupaten Pati. Pagi, yang biasanya selepas sholat iedul Fitri berkumpul dengan emak, bapak, dan sedulur kabeh di desa Kalongan…mencium tangan mereka yang makin sepuh dan menatap raut wajahnya yang penuh welas asih – kini suasananya beda. Yap…lebaranku tertahan di sebuah dusun di ujung Kabupaten Bogor.
Mudik-ku, sejatinya sudah aku lakukan 3 bulan silam, tepatnya satu hari sebelum terjadi gerhana matahari total. Mudik yang tanpa rintangan macet sama sekali, apalagi yang namanya Brexit kala itu belum tercatat di koran nasional. Satu hal yang kuingat ketika mudik kala itu, adalah iringan musik yang dinyanyikan Ariel yang berjudul “Sajadah Panjang” karangan Bimbo. Lagu itu aku putar berkali-kali, dari masuk Tol Cikampek, Cipali, Brebes, hingga ke Semarang. Entah berapa puluh kali aku mendengarkan lagu itu, seolah menjadi teman ngobrol perjalanan mudik.
Ada sajadah panjang terbentang / Dari kaki buaian
Sampai ke tepi kuburan hamba / Kuburan hamba bila mati
Ada sajadah panjang terbentang / Hamba tunduk dan ruku
Diatas sajadah yang panjang ini / Diselingi sekedar interupsi
Mencari rezeki mencari ilmu / Mengukur jalanan seharian
Begitu terdengar suara adzan / Kembali tersungkur hamba
Maka, sepanjang perjalanan itu, aku meresapi dan memaknai bahwa mudik hahekatnya bukanlah sekedar pulang kampung, tetapi jauh lebih dalam, ia adalah prosesi menyusuri sajadah panjang yang terbentang sejak buaian kita terlahir ke dunia, terhampar jauh sepanjang tanah perantauan kita, dan kembali lagi kepada asal kita dilahirkan. Sungguh perjalanan yang teramat panjang, berlangsung selama puluhan tahun yang kita selingi dengan rutinitas mencari rezeki, mencari ilmu dan mengukur jalanan seharian.
Rutinitas di tanah perantauan, yang kadang kala membuat kita khilaf, dan seringkali melalaikan kewajiban kita untuk ruku dan sujud. Rutininas yang mengggerus nasehat kedua orang tua kita yang tak hentinya berzikir dan berdoa untuk keselamatan dan kesuksesan hidup kita. Perjalanan mudik itu…adalah simpul kehidupan kita, yang pada akhirnya membuat kita dikembalikan pada asal mula kita terlahir. Ke kampung halaman.
Perjalanan mudik, yang akan mengantarkan kita untuk menginjakkan halaman rumah orang tua kita, dengan disambut dengan air mata bahagia kedua orang tua dan sedulur. Atau mungkin, tak sedikit dari mereka, yang justru perjalanan mudik mengantarkannya kepada kampung asal sesungguhnya, yakni kuburan. Perjalanan mudik, menjadi semacam hijrah yang tak tahu dimana tujuan akhir sesungguhnya. Karena sajadah panjang yang kita susuri itu, dibentangkan oleh Allah sendiri dan kita hanya punya dua pilihan, bertemu kedua orang tua atau bertemu dengan Allah. Pulang ke rumah orang tua kita, atau berpulang ke rahmatullah ke kampung akherat.
Hanya rasa syukur yang pantas kita panjatkan, kita diberi keselamatan selama mudik dan bertemu dengan kedua orang tua dan sedulur kabeh. Memiliki keluarga kecil, yang sepantasnya kita jaga, kita sayangi dengan sepenuh hati. Memiliki tetangga yang peduli dengan kesendirian kita, dan kadangkala berbagi rezeki dengannya. Kita yang masih diberi keleluasaan rezeki dan sepatutnya kita berbagi dan berkunjung ke rumah mereka menyusuri jalan-jalan tanah sempit nan becek, tetangga-tetangga agak jauh kita yang berkekurangan. Menyimak curahan hati mereka yang hidup dalam himpitan rumah bilik reyot, dan membuat kita tersentuh untuk terus mendengar ketegaran dan senyum mereka berjuang menaklukkan dunia. Kita, mungkin tak sekuat mereka.
Kejadian horor mudik, yang terjadi di Brexit beberapa hari lalu…sungguh membuat kita tertunduk sedih. Mereka yang jadi korban, dan meninggal dunia…kita doakan agar mereka mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT dan dimasukkannya ke dalam syurga. Perjalanan mudik yang mereka lakukan, bukanlah sesuatu yang sia-sia, dan sebaliknya bernilai ibadah, sebagai jihad fi sabilillah. Karena sajadah panjang yang mereka telusuri dari tanah perantauan menuju kampung halamannya, berakhir sampai pada tempat persemayaman terakhirnya, berjumpa dengan Allah di kampung akherat.
Dalam jeda perjalanan yang penuh lelah, suatu waktu pun aku pegang erat kalimat ini, yang aku kutip dari korekgraphy, “Dalam sebuah perjalanan adakalanya kita terjatuh hingga tertunduk memandang tanah. Terkadang kita berpikir itu adalah akhir dari sebuah perjalanan. Tapi sebenarnya kejatuhan adalah usaha mendaki harapan sampai pada puncak, yang selama ini hanyalah mimpi yang tertunda. Hingga kita menyadari perlunya usaha serta ketahanan dalam menempuh perjalanan itu sendiri.”
Kita, yang masih diberi kesempatan hidup, jangan lupa ruku’ dan sujud.
Karena sajadah panjang kita, pun akan berakhir di tujuan yang sama.
(tulisan ini dirilis di tahun 2016, di kala momen lebaran tidak mudik karena menjelang kelahiran anak kedua)