Beberapa hari yang lalu, tepatnya malam sebelum gerhana matahari total – saya berkunjung ke daerah asal, kampung halaman di Kabupaten Pati. Di sebuah pedesaan yang jauh dari kota, 17 kilometer dari selatan kota Pati. Di kampung tempat saya lahir inilah, saya belajar mengingati kembali, napak tilas kehidupan yang pernah ada 35 tahun yang lalu saat saya terlahir.
Menemui sosok bapak dan ibu..yang usianya pastinya sudah tidak muda lagi, dan membaca ulang peta kesejarahan yang pernah dibangun oleh para leluhur. Di kampung ini…saya belajar kembali menjalani tradisi yang telah berlangsung selama puluhan bahkan ratusan tahun. Bangun ketika subuh, adalah salah satunya, setelah itu pergi ke musholla untuk sholat subuh dan mengaji beberapa ayat. Hal inilah yang selalu diajarkan emak di kampung. Jika saya malas bangun, emak bakal ngomel-ngomel. Nilai-nilai kesederhanaan yang sejatinya adalah sebuah ajaran yang memiliki dampak besar dalam perjalanan hidup, hingga sekarang. Dengan bangun subuh itulah….otak dan fisik dibiasakan untuk menghirup udara fajar, lidah dilenturkan dengan lantunan ayat-ayat suci al Qur’an, dan merasakan bagaimana embun pagi menjadi penyemangat yang menenangkan jiwa.
Hal keduanya, saya menemui beberapa kawan lama dan mengamati bagaimana mereka membangun desa dengan cara yang beda. Desa ini..sudah tumbuh menjadi desa yang pintar. Dengan banyaknya sekolah, pesantren, madrasah…menjadikan desa ini seperti miniatur kota Yogyakarta. Bayangkan saja, di satu desa ada 2 PAUD/TK, 1 sekolah dasar (SD), 2 madrasah ibtidaiyah (MI), 3 madrasah tsanawiyah (MTs), 3 madrasah aliyah (MA), beberapa pondok pesantren untuk bapak-bapak dan ibu-ibu. Ratusan bahkan mungkin seribu lebih anak-anak tiap hari datang ke desa ini, untuk belajar ke sekolah/madrasah, dan tidak sedikit juga yang mondok.
Pengurus takmir masjidnya sebagian besar lulusan sarjana dan tidak sedikit yang lulusan magister. Mereka…sebagiannya para pemuda yang sudah lulus kuliah…kembali ke desa, dan tetap memberikan rasa hormat dan patuh terhadap orang-orang tua yang dulunya pernah mengajari mereka abatatsa…dan saling berkolaborasi membangun sebuah desa dengan penuh keadaban. Nilai-nilai egaliter, semangat hidup dengan cara terhormat, menghargai perbedaan, memaknai pentingnya kesabaran, berjiwa besar, pentingnya menghormati dan mendengarkan nasehat orang tua..adalah poin-poin yang selalu menjadi topik kutbah jumat.
Di desa inilah, sumber daya manusia menjadi aset yang sangat berharga. Tradisi-tradisi keagamaan dipegang kuat, tetapi tidak anti terhadap perkembangan kekinian. Bersilaturahmi ke sesepuh…ke guru-guru ngaji, sekedar untuk mencium tangan mereka, menatap raut muka mereka yang sudah menua tapi memancarkan kebahagiaan dari dalam jiwanya. Pancaran ketenangan batin mereka, menjadi obat yang selalu dibutuhkan oleh para pemuda-pemudanya, baik yang tinggal di desa itu atau mereka yang melalang buana sebagai perantauan dan pulang kampung.
Ketiganya, saya belajar bagaimana semestinya manusia berbuat untuk sesama. Membangun sebuah desa…bukan semata-mata membangun fisiknya. Membangun fisik infrastruktur tetap diperlukan dan penting. Tetapi yang jauh lebih penting dan yang lebih utama adalah membangun manusianya. Kerukunan dalam bertetangga, tidak mencari musuh, santun dan hormat kepada siapapun yang kita kenal tak peduli karakternya yang mungkin beda dengan kita. Semangat itu…yang emak selalu bisikkan ke telinga saya, tiap kali saya mengantarnya belanja ke pasar. Emak bilang, “Mud nek papasan karo wong sing dikenal, kudu disapa. Mbek yo mungkin ndekne ra kenal awakmu.” Artinya, Mud kalau kamu ketemu orang yang dikenal di jalan, wajib sapa. Walau mungkin dia tidak kenal kamu. Arti yang lebih luas, selalu berpikiran positif ke orang, jangan sombong, dan tetap membumi.
Keempatnya, kepedulian membantu fakir miskin di desa-desa. Fakir miskin menjadi hal yang selalu ada di manapun. Apalagi di desa yang terpencil ini…jauh dari kota. Fakir miskin, diberi ruang terhormat. Mereka didatangi dan diajak ngobrol tentang kisah-kisah yang membuat mereka bisa tertawa. Di desa inilah…beberapa pemuda berinisiatif membangun yayasan yang khusus diperuntukkan membantu fakir miskin. Mengumpulkan sedekah, zakat, infaq – untuk kemudian membagikan langsung ke rumah-rumah fakir miskin. Tidak hanya di lingkup satu desa, tapi dua, tiga, empat…..belasan desa, dan ratusan fakir miskin diberi santunan. Fakir miskin tidak perlu diberi kupon, karena pembagian dana santunan dan juga makanan/sembago, diberikan oleh panitia langsung dari rumah ke rumah. Butuh nyali, perjuangan, konsistensi, dan integritas dari para pemuda ini – untuk memberikan pelayanan terbaik bagi para fakir miskin. Kadang, ada juga program membenahi rumah si fakir, karena rumahnya sudah sangat tidak layak huni. Kalau Ramadhan, ada pembagian makanan untuk buka puasa dan sahur bagi para fakir miskin. Lagi-lagi….itu diberikan langsung ke rumah-rumah, yang jumlahnya ratusan. Tiap hari selama Ramadhan. Di sinilah role model tentang makna dan hakekat berbagi dengan penuh totalitas.
Dua atau tiga tahun yang silam, KH Mustofa Bisri sempat berkunjung di desa ini. Memberi wejangan-wejangan lembutnya, tentang keseimbangan hidup antara yang duniawi dan ukhrowi. Menyeimbangkan hidup…beribadat hubungannya dengan Allah dan membantu sesama secara sosial. Membangun ummat, sesuai dengan nilai-nilai luhur yang patut dijaga dan dilestarikan sehingga tidak memunculkan kebencian di antara sesama. Sebuah keberkahan tersendiri, di daerah ini, kabupaten Pati (dan Rembang) ini ada ulama besar seperti KH Sahal Mahfudz dan KH Mustofa Bisri. Selain itu, banyak kyai-kyai di desa ini yang menjadi lentera-lentera hati, menebar ilmu dan agama, tempat curhat untuk menenangkan hati yang lagi resah. Mereka laksana cahaya rembulan yang selalu menerangi ketika gelap malam datang.
Rasa-rasanya, saya seperti anak kemarin sore yang sedang belajar tentang makna kearifan lokal.
1 comment
wow sangat bermanfaat sekali ya ikut serta disana