Tadi pagi, saya berbincang dengan seorang konsultan tata ruang mengenai relasi yang timpang antara konsep tata ruang wilayah dengan global warming. Loh emang ada ketimpangan apa? Ada baiknya kalau kita mulai dari yang ini dulu. Saat ini (dan beberapa tahun yang lalu) pemerintah daerah sedang sibuk-sibuknya menyusun konsep tata ruang wilayahnya. Tujuannya hanya satu, yaitu mensejahterakan masyarakat (katanya sih gitu). Bagi pemda-pemda yang ada di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan kabupaten lain yang cukup banyak memiliki aset hutan yang melimpah.. mulai berpikir ; apakah hutan ini cukup memberi makan masyarakat sekitarnya. Hmm… rasanya kok jauh dari harapan.
So what ?? Ada satu yang terbetik dalam pikiran mereka, yaitu konversi hutan. Yang jelas, hutan lindung yang saat ini begitu diperlakukan seperti sang bidadari yang mampu meredam gejolak global warming… perlu disentuh dengan tangan manusia, alias dikonversi. Tujuannya tak lain dan tak bukan, guna mendatangkan asupan modal yang lebih produktif bagi masyarakat, terlebih bagi pemerintah. Perlahan tapi pasti, hutan lindung perlu diubah menjadi hutan produksi terbatas (pepohonan yang ada, layak ditebang pilih), lalu diubah menjadi hutan produksi tetap (pepohonan yang ada, layak ditebang tanpa pandang bulu, ya mana ada pohon punya bulu..hehe). Atau yang lebih seru lagi, dari hutan langsung dikonversi menjadi perkebunan (biasanya kelapa sawit). Dan yang ini juga gak mau ketinggalan, dari hutan, langsung dikonversi menjadi ladang tambang batu bara (ini banyak terjadi di Sumatera dan Kalimantan).
Jadi jangan heran – kalau dalam beberapa tahun yang lalu, sering terjadi hutan yang terbakar – itu adalah konsekuensi logis dari kebijakan pemerintah daerah (dan pusat juga) yang sudah menetapkan kebijakan konversi hutan. Hutan perlu dibakar untuk mempercepat konversi dan low cost tentunya. Itu tentu saja hal yang lumrah, karena ada jaminan dari para pemilik modal – bahwa roda perekonomian masyarakat akan berputar lebih cepat. Bisa dibayangkan, puluhan bahkan ratusan miliar rupiah akan berputar di sana. Itu adalah output dari program konversi hutan. Tapi, ada satu yang membuat kepala pusing, yaitu protes keras dari LSM pecinta lingkungan seperti Walhi dan teman-temannya. Dan lebih makin pusing lagi, kalau kemudian PBB turut serta mencerca kita dengan men-cap Indonesia sebagai penyumbang karbon terbesar ketiga di dunia. Apa kata dunia??
Memang, apa yang cukup lama didengungkan oleh negara-negara di dunia tentang Protokol Kyoto – dengan mengusung mekanisme Carbon Trading – sepertinya menjadi harapan baru bagi kita. Konsep dasar dari carbon trading adalah pertukaran karbon, dimana negara-negara maju yang memproduksi karbon dalam skala sangat besar, musti mentransfer sejumlah dana kepada negara-negara berkembang yang memiliki asset hutan sebagai kompensasi guna penyerapan karbon. Ini adalah prinsip keseimbangan, agar global warming tetap berada pada level aman. Berdasarkan kesepakatan itulah, seharusnya Indonesia melalui pemda dan masyarakat lokal yang memiliki asset hutan yang melimpah, mendapatkan transfer dana yang sangat besar – setidaknya guna menggerakkan roda perekonomian dan menghidupi masyarakat lokal tersebut. Dengan begitu, hutan akan tetap terpelihara dengan baik. Tapi sepertinya prosedur carbon trading (Clean Development Mechanism/CDM) masih terlalu rumit dan bertele-tele. Alhasil… carbon trading hanya mimpi siang hari. Dan terpaksa deh… hutan dibabat aja.
Perlu direview kembali apa yang sebenarnya terjadi dengan bumi kita. Jelas, bumi jangan sampai tambah panas. Tapi masyarakat juga jangan sampai kelaparan. Kalau hutan musti dirawat.. dampaknya masyarakat sulit mencari makan. Tapi kalau hutan musti digunduli.. dampaknya bumi makin panas. Pilihan yang sangat sulit?? Belum lagi pilihan presiden nanti.. loh apa hubungannya.
GIS (atau Geographic Information System) sepertinya memiliki potensi untuk mengurai berbagai kompleksitas ini. Yang saya maksud tentu bukanlah sekedar software GIS-nya… tetapi lebih dari konsep berpikir Spatial Based. Seperti apakah itu?? Well… I don’t know!
8 comments
selama aku bekerja di kebun sawit, LC dilakukan scr mekanis dg metode zero burning. so klo ada yg bakar2 yo pasti oknum2 yg sebenarnya berniat utk menjarah hasil hutan bukan utk nanam sawit.
sebenarnya apa sich yg udah dilakukan para pecinta lingkungan? kayaknya lebih rame gosip2 artis INA di TV dibaning karya nyata
“Bahasa yg terlalu melangit nggak bs buat anak negeri ini kenyang”
emang sih kalo liat niatan para pecinta lingkungan yg suka protes, perlu dipertanyakan apakah ada titipan sponsor dari asing??
tapi jangan lupa juga moko.. kalo pemilik modal (klapa sawit) itu juga banyak cukong2 asing ..
zero burning emang prosedur formalnya.. tapi bagi sebagian cukong2 sawit.. tetep ada prosedur hitam yg pantas tuk dijalankan, mbakar hutan salah satunya.. maybe ye maybe no
aq pernah liat di TV, justru yg dapet dana dari perdagangan karbon di kawasan jambi malah orang luar negeri (kalo ga salah orang Cina). Dia yg lobi ke gubernur Jambi tuk membantu programnya, dan akhirnya mendapat dana besar dari negara-negara maju. bayangkan, orang lain yg jualan barang kita ke luar negeri..
Berikut ini, sisi buruk dari perdagangan karbon yg dilakukan orang asing terhadap masyarakat Jambi..
http://www.spi.or.id/?p=714
kalo menurut pendapat saya perlu adanya keseimbangan dalam mengelola potensi hutan, kelstarian lingkungan dan kesehjahteraan masyarakat. dan pemerintah-lah yang mengatur kebijakan pembangunan secara tegas
Save the earth, go green…
Supporting ‘Stop global warming Campaign’
Hurm…
Kalau dibilang LSM hanya sekedar protes doang, see from the positive side, Paling tidak pemerintah sedikit kebakaran jenggot dengan gerakan-gerakan LSM yang ada. Tidak tidur melulu. Tentunya memang tidak menutup kemungkinan akan adanya titipan dari negara asing. Kalau itu terjadi mungkin harus diselidiki lebih lanjut lagi. memang benar niat baik saja tidak cukup. butuh tindakan nyata. Even sedikit daripada tidak ada sama sekali.
Yang saya sedikit tau, Carbon Trade sedang digodok mekanismenya di UN. Dan perundingan ini masih terus berlangsung dengan perwakilan dari berbagai negara. Yah mungkin saja masih alot, karena tarik-tarikan kepentingan dari masing-masing negara. Mudah2an cepat kelar, so we hope we get win win solution.
Semoga saja kita yang aware masih terus berada dalam semangat yang sama untuk melakukan hal-hal kecil “in surviving”. Tak ada salahnya toh… hehehehe….
Kalau pemerintah ingin melakukan penggundulan atau pembakaran hutan, bukankah itu akan semakin berdampak buruk bagi lingkungan, terutama terjadinya pemanasan global yang semakin meningkat..
Untuk itu, saya berharap pihak pemerintah harus lebih mempertimbangkan kebijakan tersebut sebaik mungkin..